Selasa, 13 Januari 2009

Filsafat Estimiologi

BAB I

PENDAHULUAN

Filsafat Epistemiologi selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi bahan pijakan. Konsep-konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern – terpecah berbagai aliran yang cukup banyak, seperti rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun eksistensialisme

Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai "The Study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity"

BAB II

PEMBAHASAN FILSAFAT EPISTEMIOLOGI

A. Pengertian

Filsafat Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan.

Filsafat Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view) ini menyibukkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai apa sumber-sumber pengetahuan; apa hakekat, jangkauan, dan wilayah pengetahuan; bahkan tentang apakah memang dimungkinkan manusia memperoleh pengetahuan; dan kalau iya sampai pada tahap mana pengetahuan yang dapat dianggap manusia (Sahakin & Sahakin, 1965). Tercakup di dalam epistemologi adalah pembahasan mengenai filsafat ilmu yang secara spesifik mengaji hakekat pengetahuan ilmiah.

Filsafat Epistemologi atau filsafat ilmu membahas "asal-usul ilmu pengetahuan." sumber pengetahuan, kebenaran pengetahuan dan berbagai permasalahan seputar ilmu pengetahuan.

B. Kritik Epistemologis

Karena semua pembahasan filsafati itu bersendikan logika, maka yang dimaksud dengan kritik epistemologis adalah pengujian apakah suatu teori mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruknya, atau apakah dalam diri teori itu memiliki konsistensi logis atau tidak. Hal yang sama dilakukan terhadap konsep-konsep yang mendasari suatu teori.

Berikut ini beberapa contohnya. Pandangan statistikal atau pendekatan grafik-kurva-normal adalah salah satu norma untuk menjawab pertanyaan: siapakah yang normal dan siapakah yang abnormal secara psikologis? Berdasarkan konsep ini disimpulkan bahwa orang-orang yang normal adalah orang-orang yang berperilaku psikologis sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka, yang normal, adalah yang terkumpul di tengah grafik yang berbentuk lonceng itu. Pandangan seperti ini mengandung kesulitan logis, dikarenakan konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang emosinya luar biasa stabil, misalnya, sebagai orang-orang abnormal, sama seperti orang-orang sub-normal yang mengalami gangguan emosional gawat atau orang-orang neurotik.

C. Aspek Epistemologi (why, how)

® WHY :

Karena keinginan berfilsafat untuk menemukan kebenaran dengan :

Ÿ memakai ratio-logos-akal budi. Seterusnya ditanyakan mengapa

benar karena didiskusikan, dianalisis dengan ratio untuk

menemukan kebenaran.

Ÿ mengapa ditanyakan oleh karena :

1. Ketakjuban akan dirinya “yang ada” (Plato & Aristoteles ± 350 SM), dan

ketakjuban akan moral hukum dan langit dengan bintang. Imanuel Kant

(± 1750) memikirkan untuk ditemukan bagaimana kebenarannya.

2. Kesangsian kemampuan panca indra (Agustinus ± 400, Descartes

±1600) karena indrawi seringkali menipu -> bagaimana kebenarannya

3. Kesadaran eksistensi dirinya yang kecil dibanding alam semesta

-> bagaimana kebenaran fakta / kenyataan tersebut.

Teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).

Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.


D. Epistemologi Filsafat Al-Ghazali

Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.

Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.

Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).

Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :

Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku". (Al-Ghazali, 1961).

Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).

Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.




BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan

Filsafat Epistemologi (filsafat pengetahuan) adalah pembahasan logis tentang apa yang mungkin diketahui oleh manusia, dan bagaimana cara manusia mendapatkan pengetahuan.

Filsafat Epistemologi, yang merupakan inti sentral setiap pandangan dunia (world view)

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi

http://filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/04/bongkar-buku-tentang-epistemologi.html

http://psikologi.tarumanagara.ac.id/moodle/course/info.php?id=83

http://www.goodreads.com/story/show/12243.epistemologi_filsafat_al_ghozali

http://www.wpfind.com/epistemologi%20feminis/tags

Tidak ada komentar:

Posting Komentar